Rabu, 24 November 2010

HUKUM ONANI MENURUT EMPAT MAZHAB

Hukum Onani Menurut Islam

2
0
 
i
 
Most Popular Content All  |  Today  |  This Week  |  This Month Quantcast
Rate This
Quantcast
Onani atau istimna’ bil yadi (bhs. Arab), yakni msturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Namun para ahli hukum fiqh berbeda pendapat tentang hukumnya. Pendapat pertama: Ulama Maliki, Syafi’i dan Zaidi mengharamkan secara mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minum ayat 5-7: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Maka barang siapa mencari yang di balik itu (berbuat zina, homoseksual, lesbian, onani, dan sebagainya), mereka itulah orang yang melampaui batas.” Ayat ini dengan jelas memerintahkan kepada kita agar menjaga kehormatan alat kelamin (penis), kecuali terhadap istri dan budak kita. Yang dimaksud budak di sini, ialah budak yang didapat dalam peperangan untuk membela agama. Pendapat kedua: Ulama Hanafi secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu sexnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh: “Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya.” Pendapat ketiga: Ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa berbuat onani. Menurut pendapat kedua dan ketiga di atas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. (darurat) itu dibatasi seminimal mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh: “Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja.” Kaidah fiqh ini berclasarkan firmah Allah dalam Al-Qur’an Surat A]-Baqarah ayat 173: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan makanan yang diharamkan), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Pendapat keempat: Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis. Pendapat kelima: Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani. Kata Al-Hasan, “Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluargailistri)“. Dan kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “Orang Islam dahulu (Sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi”. Dan hukum mubah berbuat onani ini berlaku baik untuk pria maupun untuk wanita.

3 komentar:

  1. Assalamualaikum.. ust mcm mne klau seseorg tu dh ketagih dlm onani nie.. dy berushe utk hindarkn.. tp teramat sukar bg nye.. ape hkumnye ye ustz?

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum.. ust mcm mne klau seseorg tu dh ketagih dlm onani nie.. dy berushe utk hindarkn.. tp teramat sukar bg nye.. ape hkumnye ye ustz?

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus