Hukum Onani Menurut Islam
i
Rate This
Onani atau
istimna’ bil yadi
(bhs. Arab), yakni msturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya
sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Namun
para ahli hukum fiqh berbeda pendapat tentang hukumnya.
Pendapat pertama: Ulama Maliki, Syafi’i dan Zaidi mengharamkan secara mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minum ayat 5-7:
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Maka barang siapa mencari yang di balik itu (berbuat zina, homoseksual,
lesbian, onani, dan sebagainya), mereka itulah orang yang melampaui
batas.”
Ayat ini dengan jelas memerintahkan kepada kita agar menjaga
kehormatan alat kelamin (penis), kecuali terhadap istri dan budak kita.
Yang dimaksud budak di sini, ialah budak yang didapat dalam peperangan
untuk membela agama.
Pendapat kedua: Ulama Hanafi secara prinsip
mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang
memuncak nafsu sexnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan
wajib berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang
jauh lebih besar dosa dan bahayanya daripada onani.
Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:
“Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya.”
Pendapat ketiga: Ulama Hambali mengharamkan onani,
kecuali kalau orang takut berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya
yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak
mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin,
maka ia tidak berdosa berbuat onani.
Menurut pendapat kedua dan ketiga di atas, onani hanya diperbolehkan
dalam keadaan terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam
keadaan terpaksa. (darurat) itu dibatasi seminimal mungkin
penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu.
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh:
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja.”
Kaidah fiqh ini berclasarkan firmah Allah dalam Al-Qur’an Surat A]-Baqarah ayat 173:
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan makanan yang
diharamkan), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Pendapat keempat: Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis.
Pendapat kelima: Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani. Kata Al-Hasan, “
Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluargailistri)“. Dan kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “O
rang Islam dahulu (Sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi”. Dan hukum mubah berbuat onani ini berlaku baik untuk pria maupun untuk wanita.
Assalamualaikum.. ust mcm mne klau seseorg tu dh ketagih dlm onani nie.. dy berushe utk hindarkn.. tp teramat sukar bg nye.. ape hkumnye ye ustz?
BalasHapusAssalamualaikum.. ust mcm mne klau seseorg tu dh ketagih dlm onani nie.. dy berushe utk hindarkn.. tp teramat sukar bg nye.. ape hkumnye ye ustz?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus